Pesan Parenting Dalam Film Abigail (2019)
Hai, hai, hai...
Lama juga ya, aku nggak mengisi blog ini. Sejak ada drakor yang diputar di Trans7 menyebabkan jarang nonton bioskop Trans7 lagi. Karena jam tayangnya lebih malam yakni pukul 21.00 WIB. Selesainya sekitar jam 11 malam ya?
Syukurlah sekarang sudah mulai bisa kembali menonton film yang ditayangkan oleh Trans7 sesudah nonton Diary The Onsu tentunya. Sayang, sayang, sayang...
Kali ini aku nggak akan bahas tentang film yang diputar di Trans7. Tetapi tentang film Rusia, Abigail bergenre petualangan aksi fantasi. Film ini pernah tayang di bioskop september 2019 lalu.
Yang menarik dari film Abigail adalah bagaimana percakapan antara ayah dengan putrinya, Abigail yang baru berusia sekitar 5-6 tahun.
Dalam tiap pertanyaan yang diajukan oleh Abigail Foster (Tinatin Dalakhisvili), selalu dijawab sang ayah dengan teka-teki dan seperti sedang menyelesaikan soal. Jonathan Foster (Eddie Marsan) adalah seorang ilmuwan tetapi ditahan oleh pemerintah karena diduga telah terinfeksi wabah misterius.
Hingga Abigail beranjak dewasa, tak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Pemerintah bahkan mengumumkan jika wabah makin parah, oleh karena itu tiap orang yang terinfeksi akan disuntik mati.
Penyakit ini tidak bergejala dan hanya bisa dideteksi oleh sebuah alat khusus. Setiap hari ada petugas yang berkeliling memeriksa warga dengan alat tersebut. Cara kerjanya mirip dengan scanner suhu tubuh di Indonesia.
Ingatan Abigail akan percakapan dengan ayahnya makin hari makin kuat. Satu per satu pertanyaan Abigail tentang misteri kemana pergi sang ayah mulai terkuak.
Hingga ia menemukan kenyataan bahwa sebenarnya orang-orang yang ditangkap pemerintah tidak kena wabah apapun. Melainkan memiliki kekuatan istimewa termasuk ayah dan dirinya. Itulah sebabnya mengapa seseorang dari pemerintah menjemput ayahnya di suatu malam.
Abigail pun menemukan kota sihir misterius di tengah kota. Tanpa terdeteksi oleh petugas pemerintah, kelompok itu hidup dengan bersembunyi.
Tetapi keberanian Abigail membuat orang-orang itu agar mau keluar dari situasi yang membelenggu mereka.
Jujur nih, di awal nonton, aku sama sekali tidak menyangka jika film ini bergenre fantasi. Aku kira ini bercerita tentang wabah penyakit Lepra (penyakit ini sempat disebut di awal film).
Alurnya pun berjalan sangat lambat dan agak membosankan di awal. Barulah di pertengahan film, aku sadar ini film bergenre fantasi sihir dan petualangan. Setelah Abigail menyusup ke wilayah pemerintah untuk menyelidiki kepergian ayahnya. Ia sempat terjebak dalam baku tembak antara petugas dan kaum pemberontak.
Barulah film ini memunculkan efek-efek sihir dan fantasi. Adegan laga dan aksi peperangan pun terjadi.
Meski demikian, aku sangat terkesan dengan cara ayahnya mendidik Abigail. Sang ayah takkan memberikan jawaban langsung untuk setiap pertanyaan. Misal saat mereka berada di hutan. Ayah bertanya, kemana arah jalan pulang?
Abigail pun bertanya, kita tersesat? Sang ayah tidak langsung memberi jawabnya. Tetapi memberi petunjuk pada Abigail agar melihat ke gugusan bintang di atas dan belajar bagaimana membaca arah mata angin.
Hal inilah yang membuat Abigail tumbuh menjadi gadis pemberani dan kritis. Ia pun menemukan alat yang diciptakan sang ayah untuk menghentikan rekayasa yang diciptakan pemerintah. Berhasilkah Abigail?